Twitter Updates

    follow me on Twitter

    Friday, September 19, 2008

    Single vs. Married - Part 2

    [Why do I decide to suddenly write about a topic of being single and being married? Well, a very dear friend of mine has lost his confidence in that sacred institution known as marriage. He is not the first person, that I know of, who holds that view. What made him different was that only awhile ago, he was talking about marriage and having kids of his own, before changing his view only very recently.

    He becomes skeptic that unconditional love exists and that many people do want to share the rest of their life with their spouses because of that love. I am not trying to prove one way or the other. Similar to him, I am too in the process of learning about the state of singleness and matrimony. So, I dig in my archive inbox to find old emails that perhaps may shed some lights to this aspect of life's purpose.

    The following is an article, written in Bahasa Indonesia, forwarded by another colleague, Neda, on 15 July 2008. A fellow marriage skeptic at one point in time, but let's discuss about that some other time.]

    Membebaskan Diri dari Obsesi Menikah

    Setelah menyelesaikan kuliah S2-nya di Australia , Becky (29) memutuskan untuk bekerja di Indonesia dan melanjutkan salah satu "tujuan hidupnya" yaitu mencari suami. Namun pencariannya ternyata tidak mudah, akhirnya ia menerima cinta teman sekantornya meski sebenarnya tidak ada kecocokan di antara mereka.


    Tidak mengherankan kalau hubungan mereka dipenuhi pertengkaran, tapi Becky tetap bertahan sambil berharap kekasihnya itu segera melamar. Sang kekasih akhirnya melamar, tapi bukan ke Becky, melainkan wanita lain yang selama ini juga dikencaninya.

    Mungkin kita akan bertanya-tanya, mengapa seorang wanita berpendidikan tinggi seperti Becky mau melakukan hal bodoh dengan menghabiskan waktu dengan seseorang yang salah.

    Masih banyak Becky lain di sekitar kita, meski dunia semakin canggih, tetap saja menikah masih menjadi tujuan hidup banyak orang. Sebenarnya apa yang menjadi motivasi orang-orang yang terobsesi untuk menikah?

    Yuk, simak uraian berikut:

    1. Sindrom "Tidak Bisa Hidup Sendiri"
    Banyak orang yang memutuskan menikah dengan pasangannya karena merasa tidak bisa hidup tanpa pasangannya. Akibatnya terjadi semacam shock di awal pernikahan. Menurut Mary Jo Fay, konsultan di situs helpfromsurvivor.com, jika Anda memiliki sindrom tersebut, ingatlah bahwa orang tua Anda telah mengurus Anda dengan baik, berpikirlah dua kali karena berada di bawah "asuhan" pasangan yang sebenarnya tidak cocok hanya akan membawa Anda dalam hubungan yang tidak sehat.

    2. Target Hidup
    Biasanya orang, khususnya perempuan, selalu menetapkan target pencapaian berdasarkan umur, dan dibuat sangat spesifik. Misalnya menikah di usia 25, punya anak paling lambat 27 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh beberapa psikolog, sebenarnya perempuan, sama halnya dengan pria juga takut untuk berkomitmen, tetapi "target-target" tadi menekan mereka. Semakin dewasa dan makin luasnya wawasan, biasanya mereka akan melupakan target tadi. Bukankah lebih baik menunda pernikahan daripada terperangkap dengan orang yang salah?

    3. Lingkungan dan Keluarga
    Hidup dalam masyarakat yang ikatan kekeluargaannya masih kuat seperti di Indonesia tidak selalu enak. Salah satunya adalah tuntutan dan desakan dari keluarga besar jika ada salah satu anggota keluarga yang belum menikah. Ada sebagian keluarga yang menganggap bercerai masih lebih baik "ketimbang" tidak menikah sama sekali. Usia 30 tahun adalah angka keramat, jika sampai usia tersebut seseorang belum menikah dan tidak ada tanda-tanda menjalin hubungan serius, orang akan berpikir apakah ada yang salah dengan orang tersebut.

    4. Uang
    Biasanya terjadi pada wanita. Desakan ekonomi ternyata menjadi salah satu alasan sebagian perempuan untuk menikah. Memiliki suami kaya raya, hidup enak tanpa perlu bekerja keras masih menjadi impian. Banyak pula yang akhirnya bercerai ketika usia perkawinan mereka belum berjalan 5 tahun.

    Pati (35), seorang ibu satu anak dan sudah bercerai di usia 29 tahun, membagi pengalamannya: "Meski mantan suami saya berasal dari keluarga kaya, tetapi sejak tahun lalu ia berhenti memberi tunjangan pada anak kami. Sekarang saya melanjutkan kuliah dan bekerja keras membesarkan anak saya, kelak ketika ia akan menikah saya akan memastikan ia menikah karena cinta, bukan uang."

    5. Membuat Deadline Kapan Menikah
    Membuat deadline kapan kita akan menikah sah-sah saja, tergantung apa motivasi yang melatar belakanginya. Dengan adanya deadline kita akan bekerja keras untuk mencapai tujuan, asalkan bukan menikah hanya untuk melengkapi tujuan.

    LEBIH BAIK...

    Tahu apa yang dicari
    Tanyalah pada diri sendiri: bagaimana kita ingin menjalani hidup? dengan siapa? di mana? Setelah semua pertanyaan itu terjawab, siapa tahu Anda akan sadar kalau selama ini hanya membuang waktu karena berhubungan dengan orang yang salah.

    Hargai target pasangan
    Jika sekarang Anda sudah menemukan the right person tetapi ia belum ingin menikah, bersabarlah. Pernikahan bisa terjadi jika dua belah pihak sudah siap bukan ?

    DON'T...

    Menjadikan menikah sebagai tujuan hidup
    Lebih baik menunda atau bahkan menolak lamaran jika hati kecil kita mengatakan tidak, daripada menghabiskan hidup tanpa rasa bahagia. Masih ingat kisah Becky di atas bukan? karena obsesinya untuk menikah ia jadi "gelap mata" dengan menjalin hubungan dengan pria yang salah.

    Semua dijadikan beban
    Mari kita andaikan deadline Anda telah lewat dan Anda masih juga melajang. Atau misalnya Anda telah menjalin hubungan dengan seorang pria/wanita yang baik tetapi he or she's not the one, dan Anda merasa kesal karena merasa membuang waktu dengannya. Sebenarnya tidak ada yang sia-sia, jadikan pengalaman itu sebagai pelajaran. Itu yang disebut dewasa. Tidak ada yang bisa menggantikan pengalaman hidup dari kesalahan yang pernah kita buat, karena dari situ kita justru bisa memilih orang yang lebih baik.

    Lupa bersyukur
    Seringkali kita jadi kecewa dan merasa jadi orang yang paling tidak berbahagia dan hidupnya tidak lengkap karena masih melajang. Kita jadi lupa kalau kita dikelilingi orang-orang yang sayang dan perhatian: keluarga, sahabat, teman-teman. Ibarat pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelangga.

    Seseorang yang percaya bahwa dirinya tetap manusia yang utuh meski belum memiliki pasangan, serta menikmati hidup dan membaginya dengan orang lain telah terbukti akan memiliki perasaan yang kuat dan biasanya kelak memiliki hubungan yang sehat dan menyenangkan dengan pasangannya.

    Biarkan semua mengalir dengan wajar, tak ada yang perlu dikejar. Selama kita tetap membuka diri untuk bertemu banyak orang, seseorang yang tepat & istimewa akan datang pada saat yang tepat.


    [The same theme appears again, never marry for the wrong reasons. Plus, a stronger theme also appears here, DO NOT let marriage ALL AND BE ALL. In another word, do not let it be your sole life's goal and do it just for the sake of it. There is higher purpose(s) of life and marriage is just one mean to achieve that.

    Sometimes, we forgot of life's other blessings and being respectful of our own being. Let's try not to make that same mistake again. Get more out of yourself and out of life.]

    No comments: